Sabtu, 08 Oktober 2016

Peluang dan Tantangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam Menyambut Usia Baru*

Beberapa waktu lalu, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta telah genap memasuki usianya yang ke-65 tahun. Bertepatan pada tanggal 14 Agustus 1950 silam, melalui Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun  1950 telah diatur berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian diresmikan pendiriannya pada tanggal 26 September 1951. PTAIN ini sebelumnya merupakan fakultas agama dari Universitas Islam Indonesia (UII).
            Dimulai dari penegerian fakultas agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada tahun 1950, kemudian dirubah menjadi IAIN yang diberi nama Al-Jami’ah Al-islamiyah Al-hukumiyah pada tahun 1960, hingga pada tahun 1965 IAIN tersebut resmi berganti nama menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam perjalanannya, kampus yang merupakan lembaga pendidikan tinggi islam tertua di Indonesia ini, telah berhasil mentransformasikan diri dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2004 silam melalui Keputusan Presiden no. 50 Tahun 2004.
            Diusianya yang sudah lebih dari setengah abad, tentunya banyak peluang sekaligus tantangan yang harus dihadapi UIN Sunan Kalijaga mengingat banyaknya perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Dalam situs webometrics yang merupakan situs rangking universitas di dunia tahun 2016, UIN Sunan Kalijaga menempati peringkat ke-94 dari 474 universitas di Indonesia yang terdata dalam situs tersebut. Jauh jika dibandingkan dengan tahun 2013 dimana UIN Sunan Kalijaga berhasil menduduki peringkat ke-54.
            Sebagai perguruan tinggi yang berbasis agama islam, UIN Sunan Kalijaga diharapkan dapat menjadi perguruan tinggi yang mampu memadukan studi keislaman dengan keilmuan umum demi menghasilkan sarjana yang tidak hanya unggul dalam bidang IPTEK, tetapi juga unggul dalam segi religiusitasnya.
            Hal tersebutlah yang menjadi ciri khas dari perguruan tinggi islam jika dibandingkan dengan perguruan tinggi umum. Disatu sisi, ciri khas tersebut dapat menjadi peluang perguruan tinggi islam, termasuk UIN Sunan Kalijaga. Akan tetapi di sisi lain dapat menjadi tantangan tersendiri.
            Keunggulan yang dimiliki oleh UIN Sunan Kalijaga sebagai kampus inklusif dan berpedoman untuk selalu mengintegrasikan dan menginterkoneksikan kajian ilmu agama dan ilmu semesta, sudah sejalan dengan deklarasi yang dikeluarkan oleh UNESCO bahwa fungsi dari perguruan tinggi adalah membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan dan menyebarkan budaya-budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
            Mengingat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakatnya beragama islam, UIN Sunan Kalijaga dapat berperan aktif dalam membantu mentransformasikan nilai-nilai islam yang rahmatan lil ‘alamin ke dalam kehidupan akademik maupun di lingkungan mahasiswa. Selain itu, inklusifitas yang dimilikinya juga dapat berperan aktif dalam menjaga keharmonisan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sarat dengan keanekaragamannya. Bukan hanya keanekaragaman suku dan ras saja, tetapi UIN Sunan Kalijaga juga menerima mahasiswa yang memiliki kemampuan berbeda atau yang sering disebut dengan disabilitas.
            Seiring dengan peluang yang dimiliki, UIN Sunan Kalijaga juga dihadapkan dengan tantangan yang besar terlebih dalam hal dunia kerja. Output perguruan tinggi ini harus mampu berdaya saing dengan output dari universitas lain terutama yang berasal dari universitas umum. Tidak bisa dipungkiri bahwa branding perguruan tinggi sangat berpengaruh dalam dunia pasar. Apalagi saat ini Indonesia sudah memasuki era perdagangan internasional dan tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang menuntut masyarakat untuk mampu bersaing tidak hanya di dalam, namun juga di luar negeri.
            Oleh karena itu, UIN Sunan Kalijaga harus terus meningkatkan mutu keilmuan dan  selalu berinovasi supaya dapat mencetak sarjana yang tidak hanya unggul di bidang IPTEK serta ilmu keislaman saja, akan tetapi juga yang memiliki daya tawar tinggi terhadap persingan dunia kerja.

*Eka Rafika Santi (14210001)

Rabu, 07 September 2016

Popularitas bukan Prioritas

Dewasa ini, kita hidup di era dimana popularitas seakan-akan menjadi tujuan utama. Banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang paling terkenal seiring dengan makin berkembangnya media sosial seperti instagram, path, line, twitter, dan lain sebagainya. Maka, tak heran jika banyak yang melakukan segala upaya untuk dapat menunjukkan eksistensinya di berbagai media sosial.

Setiap individu memang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri. Bagaimana ia dapat menyalurkan bakat dan hobi yang ada dalam dirinya, termasuk diantaranya hobi mengejar popularitas di media sosial. Jika dikembalikan kepada hak asasi yang dimiliki oleh masing-masing individu, maka hal tersebut memang tidak ada salahnya.

Akan tetapi, muncul pertanyaan yang sedikit mengusik dalam benakku. Apakah upaya mengejar popularitas tersebut termasuk salah satu bentuk kebebasan? Atau justru tuntutan otoritas semata?

Sering kali kita melakukan berbagai hal yang sebenarnya jauh dari keinginan pribadi. Kita hanya tunduk dan patuh terhadap otoritas yang dengan seenaknya mengidentifikasikan identitas kita. Padahal tidak ada jaminan bahwa popularitas yang kita capai di media sosial merubah kita menjadi “somebody”.

Akan tetapi, idiom “if you are not in internet, you are nobody” seolah sudah merasuki batas kesadaran individu tentang kepercayaan diri. Kita menjadi sangat tergantung dengan pengakuan-pengakuan masyarakat yang membuat kita tidak lagi mengenali diri sendiri. Kita bukan siapa-siapa jika followers instagram kita hanya sekian ratus saja, misalnya.

Maka, aku ingin memastikan. Jika upaya mengejar popularitas merupakan salah satu bentuk kebebasan, apakah benar kebebasan berarti mengikuti apa yang diinginkan orang lain terhadap diri kita? Tentunya kita harus berfikir kembali bukan? -Popularitas bukanlah prioritas.


Jumat, 02 September 2016

Sahabat Bukan Sekat



Dengan siapa dan kelompok mana aku bergaul bukanlah persoalan ingin membuat sekat-sekat dengan yang lain. Aku lebih suka bercerita dengan si A, bukan berarti aku menutup pertemanan dengan si B. Banyak hal yang akan kehilangan sifat keprivasiannya jika diceritakan ke sembarang orang, bukan?
Iya, aku hidup dalam sebuah naungan organisasi kemahasiswaan yang cukup besar. Anggotanya pun luar biasa banyak. Akan tetapi, diantara banyaknya anggota yang tergabung, hanya beberapa orang yang secara emosional sangat dekat denganku. Bukan berarti aku jauh dengan yang lain. Namun, kedekatan yang aku rasakan dengan beberapa teman itu memang sedikit lebih dalam jika dibandingkan dengan yang lain.
Bukan kesamaan pemikiran yang mendekatkan kita. Tetapi pengorganisasian yang tepat akan perbedaan lah yang membuat kita saling merasa nyaman. Sekilas teman-teman yang lain mengira kami membuat genk, atau perkumpulan khusus. Silahkan teman-teman menilai sesuka hati tentang kami. Aku pribadi tidak pernah bermaksud membuat genk atau apalah itu. Semua itu pure mengalir dengan sendirinya.
Kami menjadi semakin dekat karena ada beberapa alasan khusus, yang bagi ku tidak mungkin dijadikan alasan untuk dekat dengan teman yang lain. Sudah aku katakan, banyak hal di dunia ini yang akan kehilangan sifat keprivasiannya jika diceritakan ke banyak orang. Sekalipun aku termasuk orang yang terbuka kepada siapa saja, akan tetapi tetap ada beberapa hal yang hanya orang tertentu saja yang mengetahuinya. Alasan yang lain adalah penerimaan tanpa pamrih. Dan itu adalah alasan terkuat mengapa aku dekat, bahkan sangat dekat dengan mereka.

Senin, 23 Mei 2016

Puisi; Malam

Malam
Kau beli suaraku dengan dingin, sehingga aku diam
Kau tukar sedikit keberanian ku dengan gelap, maka aku gusar
Kau cela selimutku dengan dingin, kini aku menggigil

Malam
Kau rebahi keheningan mengajak mata terpejam
Kau rasuki dinding, lantai dan atap dengan embun kebasahan
Lembab dari hujung hingga hujung
Menetes pada titik suhu paling jatuh

Malam
Ku intip kau lewat jendela kamar
Bertirai kain hijau gelap bermotif titik-titik
Seperti kumpulan semut-semut
Malam, kau semakin larut

- Rafikae

Surat Kecil untuk Pram I




“Dengan Hati berat aku tulis surat ini untuk kalian. Belum sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyuramkan. Kalian, para perawan remaja, hidup di alam kemerdekaan, di bawah atap keluarga yang aman, membela, dan melindungi. Mungkin ada di antara kalian yang yatim-piatu, namun tetap kalian mendapatkan makan sehari-hari dan perlindungan dari marabahaya. Bila orang tua sudah tiada pasti ada wali yang menggantikan. Bila wali tiada seluruh masyarakat akan memperhatikan kesejahteraan kalian” – Surat yang kau susun pada pertengahan tahun 1979 melalui bukumu, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.
 
Maka Pram, izinkan aku membalas suratmu. Iya, aku ingin bercerita tentang nasib perawan remaja zaman sekarang.
Sama halnya denganmu, dengan berat hati aku menulis surat ini. Tidak sepatutnya kau yang seharusnya sudah tenang di alam sana, mendengar berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyeramkan. Sama seperti yang terjadi pada tahun 1943 silam, dimana para perawan remaja Indonesia (seperti yang kau ceritakan) harus terpaksa menjadi budak seks balatentara Jepang. Memang, kami para perawan remaja masa kini hidup di alam kemerdekaan. Jauh lebih merdeka jika dibandingkan dengan tahun dimana Indonesia masih dijajah Dai Nippon yang kejam.

Akan tetapi, Pram, kekejaman dengan wajah dan aktor baru kini bermunculan. Ada di antara kami para perawan remaja yang hidup di bawah atap keluarga yang menyeramkan. Betapa tidak? Belakangan ini bermunculan kasus-kasus seorang ayah yang tega mengangkangi anaknya sendiri. Betapa tidak? Seorang ayah yang seharusnya melindungi, justru merusak masa depan anaknya sendiri.

Tentang masyarakat yang kau sebut akan memperhatikan kesejahteraan kami, para perawan remaja, tidak sepenuhnya benar. Baiklah, akan aku ceritakan sebuah kisah memilukan yang terjadi bulan lalu. Seorang anak berumur 14 tahun di Bengkulu, diperkosa hingga meninggal dunia oleh 14 remaja yang merupakan tetangganya sendiri, masyarakatnya sendiri, anak darah Indonesia sendiri, bukan orang lain, bukan bala tentara Dai Nippon. Anak darah Indonesia sendiri!!!

Kemudian di Bogor, seorang bocah berumur 2,5 tahun juga mengalami hal serupa. Bedanya si pelaku melakukan aksinya seorang diri. Aku ingin tertawa sekaligus menangis, Pram, ku yakin kau pun demikian. Jepang saja yang kau ceritakan amat kejam terhadap rakyat Indonesia itu, masih pilih-pilih umur. Yah, kau bilang Jepang mencari perawan remaja yang berumur 13-17 tahun bukan? Bukan main memang. Dan tentunya masih banyak kejahatan lain yang mungkin akan aku tulis untukmu lain waktu.

Tidak Pram, tidak! Aku tidak bermaksud untuk menyamakan kekejaman tentara Jepang dengan orang Indonesia. Jelas, Jepang masih yang paling kejam. Seperti yang kau ceritakan, mereka mengangkut para perawan remaja Indonesia dengan iming-iming hendak disekolahkan ke Tokyo dan Shonanto. Padahal kenyataannya, dibawa berlayar ke pulau atau negara lain untuk menjadi pemuas hasrat biadab balatentara Jepang. Jelas itu lebih kejam. Apalagi setelah Jepang kalah dalam perang dunia II pada Agustus 1945, para gadis yang diangkut dari Jawa dilepas seperti ayam, sedangkan pihak balatentara Jepang berusaha keras untuk cuci tangan. Betapa mengerikannya itu.

Aku menulis surat ini hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa kami, para perawan remaja masih banyak yang mengalami nasib buruk akibat kebiadaban lelaki. Batin kami lah yang lebih sakit, tentunya. Karena kebiadaban tersebut dilakukan oleh bangsa kami sendiri. Aku jadi teringat presiden pertama kita pernah mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena kamu melawan bangsamu sendiri”. Memang benar, lebih sulit melawan bangsa sendiri, Pram. Kami tidak mungkin mengusir saudara sendiri bukan? aku yakin tidak hanya kau saja yang akan murka jika hal itu sampai terjadi.

 Apalagi orang-orang yang bermental sama dengan balatentara Jepang tahun 1943 silam itu, terkadang susah ditebak. Banyak yang dikira baik, ternyata tidak. Begitu pun sebaliknya. Entahlah Pram, aku pun tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Pemerintah dan para tokoh Indonesia saat ini sedang memperdebatkan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual. Ada yang mengusulkan hukuman kebiri, ada yang lebih menginginkan untuk dihukum mati, ada pula yang menolak keduanya dengan alasan melanggar Hak Asasi Manusia. Tentang bagaimana nanti, akan aku ceritakan lain waktu. Juga jawaban-jawaban atas suratmu yang lain, akan segera aku tuliskan kembali untukumu.
Baiklah, Pram, sampai jumpa kembali....

Jumat, 20 Mei 2016

Resensi; Pengakuan Pariyem





 


 Judul                           : Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Wanita Jawa)
Bentuk                         : Novel Prosa Lirik
Penulis                         : Linus Suryadi Ag.
Penerbit                       : Pustaka Pelajar
Tahun terbit                 : Cetakan keenam 2002
Jumlah Halaman          : 325 Halaman
 


Potret Kehidupan di Lingkungan Priyayi Jawa
            Pariyem adalah seorang babu yang mengabdi di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta, dengan nDoro Kanjeng Cokro Sentono sebagai majikannya. Pariyem sendiri berasal dari Wonosari Gunung Kidul, sebuah daerah yang berada di sebelah selatan Kota Yogyakarta. Pariyem digambarkan sebagai wanita Jawa yang lugu, nrimo ing pandum (menerima apa adanya), namun juga udik. Hal tersebut tidaklah aneh, selain karena ia tidak tamat SD, ia merupakan seorang penganut agama Katolik Kejawen yang sarat dengan budaya Jawa.

            Keluguan Pariyem digambarkan penulis melalui beberapa pengakuannya yang seolah mengajak Tuhan untuk mengampuni dosanya dalam perzinaan. Berikut pengakuan Pariyem:
“O, Allah, Gusti nyuwun ngapura. Kami telah telanjang bulat!. Bibir saya diciumnya, ciuman pertama dari seorang pria. Penthil saya diremasnya, remasan pertama dari seorang pria. Dan kuping bawah saya dikulumnya, kuluman pertama dari seorang pria. O, Allah, gelinya luar biasa! Bulu kuduk saya merinding lho”. (Hal.82)

            Selain keluguan, pariyem melalui pengakuannya juga sarat dengan sifatnya yang nrimo ing pandum. Kehidupannya sebagai babu tidak membuatnya murka, bahkan ketika ia harus menjadi selir tanpa pernikahan yang sah. Linus memang menggambarkan Pariyem sebagai gadis desa yang mudah memikat. Tidak heran jika anak sang majikan yang bernama Raden Bagus Ario Atmojo jatuh hati kepadanya hingga keduanya menjalin hubungan asmara diam-diam.
“Kalau memang sudah nasib saya sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah Maha Adil kok. Saya nrimo ing pandum. Kalau Indonesia krisis babu, bukan hanya krisis BBM saja, O, Allah, apa nanti jadinya?”. (Hal.29)

“Pariyem saya. Maria Magdalena Pariyem lengkapnya, “Iyem” panggilan sehari-hainya. Dari Wonosari Gunung Kidul. Sebagai babu  nDoro Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta, kini merawani putra sulungnya. Raden Bagus Ario Atmojo namanya. Saya ajar bermain asmara. O, beginilah pokal anak muda. Baru kini jagad direguknya”. (Hal. 40)

            Melalui novel prosa lirik ini, Linus berhasil menggambarkan seperti apa kehidupan yang terjadi di lingkungan priyayi Jawa. Bagaimana polah seorang babu yang harus mengabdi, dan bagaimana keputusan seorang priyayi bak Tuhan yang harus dilaksanakan. Memang novel ini tidak menceritakan kisah asmara yang tragis antara wong cilik dan priyayi. Kehamilan Pariyem sebagai buah percintaannya dengan Den Bagus, diterima oleh kedua belah pihak keluarga. Anaknya pun tetap dianggap sebagai cucu majikannya, hanya saja Pariyem tidak dinikahkan.

            Tidak ada perseteruan yang menegangkan dalam novel ini, sebab Pariyem menerima dengan lapang dada segala apa yang dialaminya. Untuk ukuran novel menurut saya tidak lengkap jika tidak disertai konflik yang menjadi klimaksnya. Meskipun demikian, Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Wanita Jawa) ini tetap enak dan menarik untuk dibaca. Kata-kata yang diungkapkan Pariyem sangat humoris berkat keluguannya.

            Akan tetapi, buku ini juga dapat menyebabkan kecelakaan dalam berfikir terutama bagi orang yang belum mengenal budaya Jawa yang sesungguhnya. Nrimo ing pandum yang digambarkan dalam novel ini terlalu berlebihan. Orang Jawa memang memiliki sifat nrimo ing pandum sebagai ciri khasnya, yaitu representasi rasa bersyukur atas apa pun yang telah diberikan oleh Tuhan. Hal ini bukan termasuk penerimaan atas eksploitasi tubuh.

            Dilihat dari bahasa yang digunakan serta alur cerita yang bisa dikatakan saru, novel ini hanya cocok dibaca orang-orang dewasa. Semoga resensi ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman dan menambah ketertarikan untuk membaca.

Kamis, 19 Mei 2016

Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

Dewasa ini, kekerasan seksual terhadap anak banyak sekali terjadi di Indonesia. Seperti yang terjadi pada bulan April silam, seorang anak yang berinisial YY (14), diperkosa dan dibunuh oleh 14 remaja di Kabupaten Bengkulu. Kemudian di Bogor, seorang bocah berumur 2,5 tahun juga diperkosa dan dibunuh oleh tetangganya sendiri. Dan baru-baru ini yang masih hangat adalah berita tentang anak kelas 1 SMP di Surabaya yang diperkosa 8 orang anak. Ironisnya, diantara pelaku tersebut ada yang masih berumur 9 tahun. Dan tentunya masih banyak lagi kasus-kasus yang lain.

Kemunculan peristiwa-peristiwa tersebut, sontak membuat masyarakat Indonesia kaget dan geram. Betapa tidak, generasi bangsa yang diharapkan mampu meneruskan keberlangsungan negara ini, harus menutup umurnya di usia yang masih belia. Juga para pelaku yang mayoritas anak di bawah umur tersebut, harus berhadapan dengan proses hukum.

Memang tidak mudah menghadapi kasus seperti ini. Di satu sisi, masyarakat menginginkan hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku, bahkan ada yang menginginkan para pelaku untuk dihukum kebiri. Akan tetapi hukuman tersebut  saat ini tengah menghadapi pro dan kontra. Di sisi yang lain, persoalan usia para pelaku yang masih dibawah umur, menyebabkan kesulitan dalam mengambil keputusan atas hukuman yang akan diberikan, apalagi hukuman kebiri.

Dilansir dari kompas.com (4/5), Ketua Majlis Permusyawaratan Rakyat, Zulkifli Hasan berpendapat bahwa hukuman kebiri belum tentu membuat pelaku kejahatan seksual menjadi jera. Pasalnya, belum ada bukti akurat yang mengatakan bahwa hukuman kebiri dapat membuat pelaku kejahatan seksual menjadi jera.

Wacana untuk menjatuhkan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual sebenarnya sudah lama diperbicangkan. Pada bulan Oktober 2015, dalam situs rappler.com telah dimuat sebuah artikel tentang pro dan kontra hukuman kebiri. Banyak tokoh masyarakat yang turut ambil suara mengenai wacana pengebirian tersebut.

Dalam rappler.com, dr. Boyke menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hukuman kebiri dengan alasan bahwa pelaku kejahatan seksual masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Lain lagi dengan Masruchah, anggota Komnas Perempuan. Meskipun sama-sama kontra, Masruchah lebih beralasan kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Berbeda dengan Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Ia yakin bahwa hukuman kebiri sebagai pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak dapat mengurangi kasus kekerasan pada anak. Akan tetapi, baru-baru ini melalui kompas.com (7/5) ia meminta kepada pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk lebih fokus untuk mencari akar masalah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Arist beranggapan bahwa pencarian akar permasalahan lebih penting dari pada memperdebatkan revisi UU Perlindungan Anak, ataupun memperdebatkan mengenai hukuman-hukuman lainnya.

Adanya perdebatan mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak bukanlah hal yang salah. Justru hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak orang yang peduli dengan masyarakat kita. Menginginkan kesejahteraan bersama tanpa adanya kejahatan, apalagi kejahatan terhadap anak penerus bangsa. Akan tetapi, terlepas dari hukuman apakah yang tepat, pencarian akar persoalan juga perlu dilakukan. Karena banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan seksual.

Seperti kasus YY di Bengkulu, salah satu faktor yang mendorong para pelaku untuk melakukan aksi kejinya adalah akibat mengonsumsi minuman keras yang berupa tuak. Kemudian kasus pemerkosaan anak kelas 1 SMP oleh 8 orang anak yang salah satunya masih berumur 9 tahun di Surabaya. Mereka melakukan aksinya setelah meminum pil koplo bersama-sama dan seringnya menonton konten porno melalui warung internet (warnet).

Ada apa sebenarnya dibalik semua ini? Dimana peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah? Peristiwa yang bermunculan belakangan ini sangat miris bukan? Hal demikian tentunya bukan tanpa sebab. Kehidupan di muka bumi merupakan sebuah hukum kausalitas. Rendahnya kontrol keluarga terhadap anak, dapat mengakibatkan anak bergaul di luar batas. Lingkungan yang tidak mendukung anak untuk belajar juga dapat memicu perkara serupa. Lalu, bagaimana dengan pemerintah? Melalui program pendidikannya, pemerintah seharusnya mampu mengambil andil untuk mencegah anak-anak bangsa berbuat hal-hal yang melanggar seperti yang banyak terjadi sekarang ini.